I. Pembukaan
Musik reggae hampir selalu diidentikan dengan rastafaria, rambut gimbal dan marijuana. Seorang pencinta musik reggae sering juga menyebut dirinya atau disebut sebagai rastaman, terkadang merubah gaya rambutnya menjadi gimbal dalam sekejap, sering berucap “woyoooo man”, selalu menggunakan atribut-atribut yang lekat dengan warna merah, kuning, hijau atau terkadang hitam hijau, dan tentu saja terkadang menghisap ganja secara sembunyi-sembunyi sambil mendengarkan “Legalizes It”[1] atau “Why I Am Rastaman”[2]. Maka, muncullah berbagai distro yang khusus menjual pernak-pernih reggae, di mall-mall pun bisa ditemukan banyak atribut serupa, dan muncul pula berbagai studio atau salon yang menjual jasa men-dreadlock[3] rambut dengan berbagai teknik sebagai jawaban atau konsekuensi atas bermunculannya para konsumen reggae.
Bahkan, beberapa kalangan musisi reggae coba memandang fenomena ini sebagai sebuah upaya para pelaku industri musik mainstream untuk mengalihkan kejenuhan masyarakat[4]. Ini senada dengan apa yang dikatakan Adorno (dalam Storey, 2004) bahwa musik pop akan menimbulkan sebuah kejenuhan komersil.
Dengan sebuah kalimat pendek, fenomena di atas bisa dikatakan demikian; reggae, rastaman, dreadlock telah menjadi sebuah budaya pop, dari musik pop sampai gaya hidup, di Jakarta khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Di dalam makalah ini, saya mencoba memaparkan secara singkat apa itu reggae, rastaman, dreadlock, dan perkembangannya dari awal kemunculannya hingga menjadi sebuah budaya pop.
II. Isi
II.1. Kelahiran Reggae Hingga Welcome To My Paradise
Seperti diutarakan di bagian pembukaan, musik reggae acap ditautkan dengan Jamaika. Hal ini benar adanya. Di negara kepulauan Karibia itulah musik reggae lahir dan mendapat pengakuan secara internasional pada tahun 1970-an atas kerja keras ‘Toots’ Hibbert, Bob Marley dan Jimmy Cliff (Nettleford, 1979).
Reggae tak terlepas dari musik-musik garapan pemusik Jamaika sebelumnya seperti ska dan rocksteady. Pada tahun 1950-an, di Jamaika munculah ska sebagai hasil pertemuan folk musik Jamaika, ritme musik Karibia dan Afrika, New Orleans R&B. Ska pada akhirnya lebih dikenal dan berkembang di Inggris dengan para musisinya seperti Skatalies, Millie Small, Bad Manners, dll (Shuker, 1998). Ska pun muncul di Indonesia dan tetap eksis di komunitas terbatas dengan musisi-musisinya seperti Tipe X, Skatalie, Escoret, dll.
Selanjutnya, pada tahun 1960-an, dipengaruhi oleh musik pop Amerika beraliran psychedelic rock, ska di Jamaika beralih ke rocksteady dengan ritme yang lebih pelan dan ‘soul’. Beberapa lama kemudian, masih di era 1960-an, muncullah reggae di ranah musik pop Jamaika dengan fondasi dari musik ska dan rock steady dengan ritme empat per empat, dua per empat dengan instrument-instrument utamanya (seperti pada musik ska dan rocksteady) seperti bass, gitar listrik dan drum dengan petikan gitar secara terbalik (up-strokes) pada akhir birama, serta alat musik ritmis seperti gendang, bongo dsb., yang berasal dari musik rakyat Jamaika. Musik baru Jamaika ini dikenal juga dengan lirik-liriknya yang menanggapi gejolak politik Jamaika masa itu[5], perjuangan ras, dan karena banyaknya musisi reggae yang juga adalah penganut rastafaria (seperti Bob Marley, Burning Spiers, Jimmy Cliff) maka masuklah cara pandangan Rastafaria itu dalam lirik-liriknya (Shuker, 1998).
Setelah dikenal luas oleh konsumen musik pop dunia, reggae mulai dimainkan bukan hanya oleh musisi Jamaika, musisi kulit hitam, tetapi juga oleh para pemusik Barat yang terpengaruh oleh reggae seperti The Police, The Clash, UB40 dan juga pemusik-pemusik Indonesia seperti Tonny Q, Imanez (di era 1980an sampai 1990-an) serta yang sekarang seperti Steven and Coconuttrees. Yang disebut terakhir ini, dengan album Welcome to My Paradise, bisa dikatakan sebagai penanda kelahiran kembalinya aliran reggae di negeri ini, setelah sempat mencuat di tahun 1990-an atas kerja keras Imanez dan beberapa pemusik potlot lainnya (Fukron, 2007).
II.2. Reggae, Rastafarianisme dan Dreadlock
Reggae lahir jauh setelah rastafarianisme lahir. Adalah Marcus Mosiah Garvey, tokoh yang dianggap berperan penting dalam kelahiran sebuah laku hidup baru ini. Banyak orang yang menganggap rastafaria adalah sebuah agama, sebuah aliran kepercayaan. Menurut Norman Hugh Redington, rastafaria berasal dari penafsiran Marcus Mosiah Garvey yang adalah seorang Katholik bahwa, Yesus berkulit hitam. bukanlah sebuah agama atau pun aliran kepercayaan. Ia, yang pada awalnya adalah seorang pastor, mendirikan Universal Negro Improvement Association (UNIA) yang merupakan organisasi kekuatan kaum kulit hitam di tahun 1920-an (Norman Hugh Redington, seorang editor di The St. Pachomius Orthodox Library dalam artikel di www.nomadfx.com). Organisasi ini pada akhirnya membangun gerejanya sendiri yang bernama African Orthodox Church.
Para pengikutnya lantas menyebut diri sebagai kaum Rastafarian yang diambil dari nama Ras Tafari[6]. Ajaran rastafari sendiri merupakan pencampuran dari berbagai macam aliran kepercayaan dan agama seperti Kristen, Hindu, dan juga aliran-aliran mistik di Afrika. Salah satu gaya hidup yang diadopsi dari aliran-aliran mistik Afrika dan Hindu adalah gaya rambut gimbal yang disebut oleh kaum rastafaria dengan dreadlock. Dreadlock berasal dari kata dread (rasa takut) untuk menggambarkan rasa takut pada Tuhan atau dalam bahasa rastafaria disebut Jahwe atau disingkat Jah dan juga menunjukkan sebuah kesungguhan untuk menjalankan hidup dengan sebuah tujuan (Redington, 2007). Dipercayai oleh aliran mistik Afrika, kaum Nazarit di Barat, dan para penganut Yogi, Gyani dan Tapasvi dari segala sekte di India, rambut gimbal dimaksudkan sebagai pengingkaran pada penampilan fisik yang fana, menjadi bagian dari jalan spiritual yang mereka tempuh. Selain itu ada kepercayaan bahwa rambut gimbal membantu meningkatkan daya tahan tubuh, kekuatan mental-spiritual dan supernatural. Keyakinan tersebut dilatari kepercayaan bahwa energi mental dan spiritual manusia keluar melalui ubun-ubun dan rambut, sehingga ketika rambut terkunci belitan maka energi itu akan tertahan dalam tubuh (www.acehforum.com dan Haksa, 2005). Namun di Jamaika sendiri, rastafaria ini tidak dianggap sebagai agama. Hal ini diakibatkan oleh mengakarnya kristiani di negeri itu akibat kolonialisasi Inggris. Bahkan dalam sensus penduduk resmi Jamaika di tahun 1970, Rastafaria atau Gereja Ortodoks Afrika tidak dimasukkan ke dalam sensus tersebut ( Nettleford, 1979).
Musik reggae sendiri pada awalnya lahir dari jalanan Getho (perkampungan kaum rastafaria) di Kingson ibu kota Jamaika. Inilah yang menyebabkan gaya rambut gimbal menghiasi para musisi reggae awal dan lirik-lirik lagu reggae sarat dengan muatan ajaran rastafari yakni kebebasan, perdamaian, dan keindahan alam, serta gaya hidup bohemian. Masuknya reggae sebagai salah satu unsur musik dunia yang juga mempengaruhi banyak musisi dunia lainnya, otomatis mengakibatkan aliran musik satu ini menjadi barang konsumsi publik dunia. Maka, gaya rambut gimbal atau dreadlock serta lirik-lirik ‘rasta’ dalam lagunya pun menjadi konsumsi publik. Dalam kata lain, dreadlock dan ajaran rasta telah menjadi produksi pop, menjadi budaya pop, seiring berkembangnya musik reggae sebagai sebuah musik pop.
Di saat menjadi sebuah musik pop, yang adalah sebuah produksi kapitalis, musik reggae secara sadar tak sadar masuk juga ke dalam pola pikir kapitalis, seperti yang diutarakan oleh Adorno bahwa, musik pop akan mengulang hal yang itu-itu saja dan tidak bisa keluar dari batas formula yang telah membentuknya (Soetomo, 2003 dan Storey, 2007). Dalam kasus musik reggae, terlihat bahwa tema-tema yang diangkat dalam lagu-lagunya dari zaman Bob Marley hingga Steven and Coconuttreez masih seputar masalah yang sama; kebebasan, Jah, alam, cinta dan lain sebagainya. Gaya hidup rastafaria-pun telah menjadi pudar makna awalnya dan menjadi konsumsi massa yang terkadang terlihat seperti tak sadar akan maksud dan makna awalnya.
Di sini menjadi benarlah apa yang dikatakan Adorno bahwa konsumen musiki pop akan memanifestasikan dirinya dalam tipe yang ritmsi yakni yang menari-nari dalam pemalingan perhatian pada ritme eksploitasi dan opresinya sendiri (dalam Storey, 2007). Sedangkan tipe konsumen musik pop kedua menurut Adorno-pun dapat kita lihat pada para pemusik reggae dan pencinta reggae lainnya semisal Ras Muhammad dan beberapa anggota kmunitas Indo-reggae lainnya yakni tipe emosional, mereka tetap mawas diri dan agak miris melihat perkembangan reggae yang menurut mereka jauh dari cita-cita awal reggae (lih. Blog pribadi Ras Muhammad dan website indo-reggae)
III. Penutup
Meskipun telah jauh dari apa itu rastafaria, dreadlock, para pencinta reggae Indonesia saat ini, telah menemukan sebuah tempat di mana mereka bisa menjadi ada. Menurut Riesman (dalam Storey 2007), mengkonsumsi musik tertentu bagi kelompok anak muda tertentu adalah cara mereka untuk mengada. Konsumsi musik digunakan sebagai tanda yang dengannya kaum muda menilai dan dinilai orang lain. Menjadi bagian dari subkultur anak muda berarti memperlihatkan selera musik tertentu dan mengklaim bahwa konsumsinya adalah tindakan kreasi komunal. Tidak menjadi soal apakah konsumsi itu bersifat nyata atau imajiner.
Musik reggae, sebutan rastaman, telah menjadi satu bentuk subkultur baru di negeri ini, di mana dengannya anak muda menentukan dan menggolongkan dirinya. Di sini, musik reggae menjadi penting sebagai sebuah selera, dan rastaman menjadi sebuah identitas komunal kelompok social tertentu. Tinggal bagaimana para pengamat social dan juga para anggota komunitas itu memahami diri dan kultur yang dipilihnya, agar tidak terjadi penafsiran keliru yang berbahaya bagi mereka. Penggunaan ganja adalah salah satu contohnya, di mana reggae tidak identik dengan ganja serta rastafarianisme pun bukanlah sebuah komunitas para penghisap ganja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar